Jumat, 16 Januari 2015

TUGAS 3 - SISTEM INFORMASI PSIKOLOGI


Nama  : Maria Rosa Prameswari
Kelas/NPM    : 4PA10/14511293

1.        Sejarah Artificial Intelligence
Artificial Intelligence diartikan secara luas sebgaia cabang dari ilmu komputer yang berhubungan dengan pengembangan komputer (perangkat keras) dan program-program komputer (perangkat lunak) yang mampu meniru fungsi kognisi manusia.
Mari perhatikan tugas kognitif sederhana yaitu memecahkan proses matematika. Banyak komputer mampu melakukan hal tersebut dengan cepat dan akurat, tetapi tidak mampu menirukan kognitif manusia. Ketika kita mendiskusikan tentang AI, biasanya berkaitan erat dengan Psikologi kognitif dan ilmu neurologi. Ide-ide dari bidang yang satu, misalnya ilmu neurologi, dapat digabungkan dengan bidang lainnya, misalnya AI dan mungkin juga nantinya ide-ide lain yang muncul dari Psikologi Kognitif dapat diterapkan dalam kedua bidang lain tersebut. Ketiganya (AI, Psikologi kognitif, dan ilmu neurologi) telah membentuk dasar dari ilmu kognitif.
AI dan Psikologi kognitif memiliki semacam hubungan simbiosis, masing-masing bagian mendapat keuntungan dari peningkatan bagian lainnya. Peningkatan pada cara-cara untuk meniru secara persis persepsi manusia, ingatan, bahasa, dan pikiran, tergantung pada pengertian bahwa proses ini dicapai oleh manusia. Perkembangan AI meningkatkan pentingnya memahami kognisi manusia.
Meskipun pengembangan Artificial Intelligence didedikasikan untuk mengembangkan mesin yang bertindak seakan pandai, kebanyakan dirancang tanpa bertujuan untuk meniru proses kognitif manusia. Bagaimanapun juga, ada beberapa penelitian yang memperhatikan perkembangan “kecerdasan” mesin yang meniru pemikiran manusia, yang ersepsinya terkadang disebut simulasi komputer (CS).
Pada masa awal teknologi komputer, para ilmuwan Artificial Intelligence (dan para penulis fiksi ilmu pengetahuan) memiliki impian luar biasa tentang robot dan mesin berpikir. Sebuah tulisan yang sangat berpengaruh ditulis pada awal tahun 1940an oleh seorang psikiater asal Chicag, W.S. McCulloch, serta mahasiswanya, W. Pitts. Dalam tulisan tersebut, memperkenalkan sebuah konsep yang memiliki pengaruh sangat besar bagi para ilmuwan komputer, termasuk Von Neumann dan juga para PDP. Berdasarkan konsep bahwa pikiran adalah hasil kerja otak, terutama bagian dasar otak atau simpul-simpul saraf, dianggap bahwa simpul-simpul saraf tersebut dapat dipandang sebagai “peralatan logika” yang beberapa simpul serta hubungannya dapat dipandang sebagai logika yang proporsional.
Dapatkah sebuah komputer dirancang untuk belajar? Manusia dapat belajar karena memiliki sinapsis yang dapat dimodifikasi. Kekuatan antara dua neuron akan meningkatkan ketika mereka diaktifkan secara terus menerus. Kita harus ingat bahwa komputer rakitan awal cukup jarang dan sangat mahal dan hanya dimiliki beberapa kaum elit intelektual yang penasaran dengan kemampuannya. Selama tahap-tahap awal pembentukan komputer, muncul beberapa pendapat fundamental mengenai manfaat dan kegunaan alat tersebut. Terdapat anggapan bahwa jika komputer diprogram dengan baik yaitu dengan diberi instruksi dan aturan yang benar, komputer akan mampu menyelesaikan operasi apapun, termasuk meniru pikiran manusia dengan efektif.
Sejauh ini kita telah gagal membuat mesin berpikir sesungguhnya, ataupun yang otaknya mirip dengan otak manusia. Bagaimanapun juga para ilmuan masih terus menganggap bahwa AI masih dalam tahap bayi. Setiap perspektif yang pernah disebutkan memiliki masalahnya masing-masing. Kasus awalnya sebagian besar program AI memiliki pemikiran yang kaku. Ketika saya bertanya berapakah akar kuadrat 7, Anda mungkin akan menjawab “Yah, diatas 8, dibawah 9. Sekitar 8,5.” Komputer akan menjawab 8,5440037... ketimbang melanjutkan rangkaian angka yang tak berujung, otak manusia seperti dirancang dengan luar biasa untuk menyelesaikan sebuah kekacauan melihat wajah yang familiar di tengah keramaian, meyetir di jalan Los Angeles, memahami makna yang dalam dari sebuah drama Chekov, ataupun merasakan lembutnya sutra yang membelai kulit kita. Sampai saat ini belum ada komputer yang mampu melakukan hal itu. Sementara itu, tidak ada manusia yang mampu menjawab pertanyaan akar kuadrat dalam hitungan milidetik, seperti yang dilakukan sebuah kalkulator tangan murahan.

2.        Artificial Intelligence dan Kognisi Manusia
Semua orang yang merangkai model proses distribusi paralel seperti neuron, telah bekerja keras untuk encoba menemukan solusi atas pertanyaan tentang otak sebagai mesin berpikir, dan apakah komputer mampu meniru kemampuan otak serta kognisi manusia.
Jawaban pertanyaan tadi mulai muncul setelah melalui riset psikologi selama  lebih dari satu abad, terutama melalui riset psikologi kognitif beberapa abad yang lalu. Apa ang telah kita pelajari mengenai mesin berpikir kita yang disebut otak, adalah bahwa mesin ini berbeda secara fundamental dibandingkan dengan komputer Von Neumann yang sekarang biasa digunakan, Mungkin Artificial Intelligence akan berperan lebih jauh jika komputer lebih menyerupai otak. Untuk menjernihkan masalah ini, disini ditampilkan rangkuman perbandingannya (pada tabel 1).

Komputer Berbasis Silikon (jenis Von Neumann
Otak Berbasis Karbon (Manusia)
Kecepatan proses
Dalam nanodetik
Dalam milidetik sampai beberapa detik
Jenis
Rangkaian prosesor (kebanyakan)
Prosesor paralel (kebanyakan)
Kapasitas penyimpanan
Sangat besar, untuk informasi berkode digital
Sangat besar, untuk informasi visual dan linguistik
Bahan-bahan
Silikon dan elektronik
Neuron dan organik
Kerjasama
Sangat patuh
Cukup kooperatif
Kemampuan belajar
Sesuai aturan yang ditetapkan
Konseptual
Fitur unggulan
Mampu memproses data yang sangat banyak dalam waktu yang singkat. Efisien dalam biaya, sudah teratur, mudah dirawat, dan dapat ditebak
Mampu membuat penilaian, kesimpulan, dan penyamarataan dengan mudah. Pergerakannya: memiliki bahsa, percakapan, vision, dan emosi
Fitur terburuk
Tidak mampu belajar sendiri dengan cepat; memiliki kesulitan dengan tugas kognitif manusia yang rumit, seperti pemahaman bahasa dan produksi
Memiliki kapasitas penyimpanan dan pemrosesan informasi yang terbatas; pelupa, dan cukup mahal dalam pemenuhan permintaan makanan, minuman, tidur, suhu udara yang sesuai sebagai tambahan atas egala kebutuhan-kebutuhan bio-psikologis lainnya (misal: cinta, kebutuhan untuk dimiliki, sex)
Tabel 1

Mereka bekerja dengan jenis mesin yang salah. Sepertinya kita berada di ambang gebrakan sebuah konsep atau mungkin pergantian paradigma dalam artificial intelligence, dimana langkah pertama sudah diambil untuk membuat komputer lebih mirip otak baik dalam struktur maupun prosesnya. Sistem jaringan neuron, model-model PDP, dan hubungannya telah menggoda ilmuwan untuk menemukan pronsip komputerisasi yang memerintah jaringan neuron pada sistem saraf manusia. Mereka melakukannya dengan cara yang tampak abstrak. Unit mewakili neuron, tetapi mengikuti tingkah laku neuron, yaitu bahwa unit bisa dipasangkan dengan unit yang lain. Hubungan diantara mereka bisa menguat atau melemah, lalu stabil, dan seterusnya (Churchland dalam Solso, 2008)
Sebuah konsep penting juga telah diajukan mengenai jaringan neuron yang juga masih dipelajari, yaitu melalui sistem seperti sinapsis (seperti infrastruktur otak) yang menghubungkan unit-unit, yang dapat berubah seiring dengan pengalaman.
Beberapa usaha telah berhasil. Cara pandang baru mengenai kognisi manusia telah menimbulkan banyak antusiasme di antara para pendukungnya. Bahkan seorang mahasswa yang kebetulan mempelajari tentang psikologi kognitif harus peka pada kontribusi penting terhadap dunia psikologi ini dan berperan serta pada perkembangannya di masa depan.

3.        Artificial Intelligence dan Sistem pakar
Eliza, salah satu program komputer pertama yang mampu berkomunikasi. Eliza ditulis oleh Joseph Weizenbaum pada tahun 1996. Beberapa revisi Eliza telah dibuat dari konsep aslinya. Pada satu program yang spesifik, bernama “Doctor”, Eliza mengambil peran seperti seorang psikiater. Pada contoh berikut ini, peran Eliza dicetak dalam huruf besar:
Semua pria sama
DALAM HAL APA
Mereka selalu menjadi gangguan bagi kita dalam berbagai hal
BISAKAH KAMU MEMBERIKAN CONTOH YANG LEBIH SPESIFIK
Yeah, pacarku membuatku datang ke sini
PACARMU MEMBUATMU DATANG KE SINI
Dia bilang aku depresi sepanjang waktu
AKU TURUT BERSEDIH MENDENGAR KAMU DEPRESI
Memang benar, aku tidak bahagia
APAKAH KAMU PIKIR DATANG KE SINI DAPAT MENOLONGMU MERASA BAHAGIA
Yang pasti aku butuh pertolongan
Percakapan tersebut mungkin akan dianggap seseorang sebagai percakapan yang timbul dalam wawancara antara seorang psikiater dan pasiennya. Bagaimanapun juga, mari kita coba telaah transkip tersebut lebih dalam. Respon dari komputer cenderung stereotipe, misalnya dia diprogram untuk merespon beberapa kunci kalimat dengan respon yang hanyalah merupakan transformasi dari kalimat aslinya. Seperti ketika “pasien” mengatakan kata kunci “I’am”, Eliza merespon dengan gaya tutur seperti “Aku turut bersedih mendengar kamu...” Jika tidak ada kata kunci yang ditemukan, komputer akan menjawab dengan ciri-cirinya yang tanpa isi, atau pada beberapa kasus, berakhir menjadi transformasi yang lebih awal. Kapasitas manusia dalam hal pengetahuan perasaan, kecenderungan, dinamika kelompok, dan seterusnya, terbentuk menjadi apa yang mau tidak mau kita sebut pengertian. Eliza kekurangan hal tersebut.

Parry, percakapan seperti apakah yang mungkin dihasilkan jika perannya dibalik, yaitu jika seorang psikiater berbicara pada pasien simulasi komputer. Colby, Hilf, Webber, dan Kraemer (1972) mensimulasikan seorang pasien, dan menyebut pragram ini Parry, karena ia mensimulaiskan seorang pasien paranoid. Mereka memilih seorang paranoid sebagai subjek karena beberapa teori menyebut bahwa proses dan sistem paranoia memang ada, perbedaan respon psikotis dan respon normalnya cukup hebat, dan mereka dapat menggunakan penilaian dari seorang ahli untuk mengecek keakuratan dari kemampuan pemisahan antara respon simulasi komputer dan respon manusia. Colby dan para rekan-rekan penelitian mengarahkan komputer tersebut untuk melakukan tes turing, dengan meminta sekelompok psikiater untuk mewawancarai Parry menggunakan pesan yang disampaikan dalam bentuk ketikan. Para juri (psikiater) diminta utnuk mengukur kadar paranoia dari keseluruhan respon.

Interview A
Dr.       Apakah ada sesuatu tentang seseorang yang bisa kau gambarkan?
Pt.        Beberapa orang tertentu
Dr.       Siapakah orang tertentu tersebut dan apa yang mereka lakukan?
Pt.        Tahukah Anda tentang aktivitas bawah tanah?
Dr.       Apa maksud Anda?
Pt.        Hauskah saya jelaskan?
Dr.       Mengapa Anda menanyakan tentang dunia bawah tanah?
Pt.        Apa yang Anda ketahui tentang dunia bawah tanah?
Dr.       Aku tidak tahu apa-apa tentang dunia bawah tanah, tetapi ketika Anda menyebutkan tentang hal itu, saya pikir Anda pasti pernah berhubungan dengan hal itu dan saya ingin tahu lebih banyak tentang dunia bawah tanah itu.
Pt.        Cobalah untuk menghindari dunia bawah tanah

Hasilnya mengindikasikan sulit dibedakannya model dan pasien dalam setting yang sangat spesial. Tentu saja, akan masuk akal jika timbul perdebatan atas kondisi penelitian yang dibuat-buat, bahwa diagnosa aktual seorang paranoia termasuk wawancara langsung yang mestinya banyak dilakukan, sehingga apabila para juri betul betul memahami maksud dari tugas tersebut, wawancara mereka mungkin akan jadi berbeda. Meskipun Colby, dan rekan-rekannya berhasil memprogram komputer yang mampu merespon serupa dengan respon seorang pasien paranoid, dimana program ini juga lulus tes, tetapi program ini masih jauh dari konsep model pemahaman lengkap dan produksi bahasa.

NETtalk
Program ini jenisnya cukup berbeda, berdasarkan pada jaring-jaring neuron, sehingga dinamakan NETtalk. Program ini dikembangkan oleh Sejnowski di sekolah medis Harvard dan Rosenberg di Universitas Princeton. Dalam program ini, NETtalk membaca tulisan dan mengucapkannya keras-keras. Model simulasi jaring neuron terdiri dari beberapa ratus unit “neuron” dan ribuan koneksi. NETtalk dalam “membaca keras-keras” dengan cara mengkonversi tulisan menjadi fenom-fenom, unti dasar dari suara sebuah bahasa. Sistem ini, seperti sistem-sistem lain yang sudah kita ketahui sebelumnya, memiliki tiga lapis: lapisan input, dimana setiap unit merespon sebuah tulisan; lapisan output, dimana unit menampilkan ke-55 fenom dalam bahasa Inggris; dan sebuah lapisan unti tersembunyi, dimana setiap unit ditambahkan koneksinya pada setiap unit input maupun output.
NETtalk membaca dengan memperhatikan setiap tulisan satu demi satu, dan dengan menscaning tiga tulisan pada setiap sisi demi sebuah informasi yang kontekstual. Disini lafal ‘e’ pada ‘net’, ‘neglect’, dan ‘red’ bisa ditangkap dengan bunyi yang berbeda. Setiap NETtalk membaca sebuah kata, program ini membandingkan pelafalannya dengan lafal yang benar yang disediakan manusia, kemudian menyesuaikan kekuatannya untuk memperbaiki setiap kesalahan.
Setelah melalui beberapa percobaan, NETtalk memberi perkembangan yang signifikan. Sejnowski melaporkan:
Kami membiarkannya untuk bekerja sepanjang malam. Pada awalnya program ini menghasilkan pembicaraan yang tidak jelas secara terus menerus. Saat itu program hanya menebak; program ini belum belajar menghubungkan fenom dan tulisan. Ketika program ini terus bekerja, program ini mulai bisa mengenali huruf vokal dan konsonan. Kemudian program ini menemukan adanya jarak antara kata-kata tersebut. Sekarang arus kata-kata tidak bermakna tersebut terpecahkan menjadi letupan pendek, yang dipisahkan oleh beberapa spasi. Pada akhir malam itu, NETtalk sudah membaca dengan cukup baik untuk dipahami, melafalkan sekitar 92% huruf dengan benar.
Aplikasi yang lebih praktis atas sistem ini cukup terlihat; apa yang mungkin tidak terlalu terlihat, tetapi dalam operasi jangka panjang menjadi terasa lebih penting, sebagai sebuah konsep yang menggebrak model sekarang yang terinspirasi oleh neuron.
Sejak Sejnowski dan yang lainnya menyadari hal ini, konteksnya beralih pada besarnya kepentingan uraian atas manusia dan mesin. Kita sekarang akan memperhatikan masalah pentig lainnya, masalah arti dan AI. Kebanyakan masalah ini jelas-jelas sudah diabaikan. Jika Anda memperhatikan sebuah transkrip tentang operator yang telah di komputerisasi pada TIVO, operatornya sudah sangat sulit dibedakan dengan operator yang “hidup”.      

4.        Penggunaan Artificial Intelligence sebagai expert system yang dapat digunakan untuk mendukung sistem pengambilan keputusan (diagnosa). Bagaimana kita dapat mengetahui dan memahami peran kontribusi Artificial Intelligence dalam Psikologi
Ada beberapa area dari Psikologi Kognitif yang sudah menjadi subjek argumentasi yang lebih heboh ketimbang perdebatan tersebut adalah orang-orang yang fanatik terhadap AI, yang percaya bahwa tidak hanya mesin mampu meniru kognisi manusia secara persis, tetapi juga bahwa proses intelektual tingkat tinggi mampu ditampilkan hanya oleh sebuah mesin. Tambahan yang logis atas pendapat ini adalah bahwa komputer harus disertakan secara langsung dalam pengambilan keputusan manusia setiap harinya.
Di sisi lain terdapat orang-orang yang menganggap AI sebagai konsep intelektual yang korup dan meyakini bahwa orang yang yakin atas keberadaan mesin berpikir adalah pemuja yang materialistis. Pikiran manusia adalah murni proses manusia, yang bahkan jika disintesis oleh mesin secara terpisah, tidak akan mampu diduplikasi oleh program-program AI.
Sebagai tiitk awal, sangatlah berguna untuk memperhatikan dikotomi yang diajukan oleh John Searle (1980), seorang filsuf dari Universitas California di Barkeley. Dia menggambarkan 2 jenis AI: AI lemah, yang dapat digunakan sebagai alat investigasi kognisi manusia, dan AI kuat, dimana komputer yang telah diprogram dengan baik memiliki ‘pikiran’ yang dapat memahami. AI lemah menimbulkan beberapa kontroversi; hampir semua orang menyadari pentingnya komputer dalam menyelidiki kognisi manusia. AI kuat yang disangkal Searle, telah menimbulkan gelombang protes. Marilah kita perhatikan tes antar sebuah jiwa murni melawan mesin yang diajukan oleh Alan Turning, seorang ahli matematika berkebangsaan Inggris.

Tes Turing
Turing (1950) menyusun sebuah tes yang melibatkan komunikasi antar manusia yang melontarkan pertanyaan dengan makhluk pengguna bahasa. Secara sederhana dirumuskan bahwa tugas manusia tersebut adalah memutuskan apakah makhluk tersebut manusia atau bukan. Tes Turing adalah sebuah penipuan terselubung yang memberi para ahli AI suatu hal konkrit untuk dikerjakan, dan mengalihkan perhatian mereka dari pikiran yang filosofis. Ketimbang menyebut sebuah filosofi secara langsung (seperti yang mungkin akan Turing lakukan apabila ia mempertimbangkan “Apakah kognisi adalah fungsi proses material, dan jika memang begitu, mampukah fungsi tersebut muncul dari sebuah mesin yang tidak alami?” atau “Apakah solusi dari masalah jiwa atau raga?”) Dia justru memilih cara yang jauh lebih cerdas untuk menanggapi pertanyaan tersebut, yaitu dengan membingkainya dengan operasionalisme. Karena adanya kebingungan yang masih tertinggal dalam kepustakaan tentang kealamian dari tes Turing yang ditawarkan.



Ruang China
Untuk mengilustrasikan pandangan tentang AI kuat yang mulai tidak dapat dipertahankan, Searle menawarkan tantangan berikut. Mari kita andaikan seseorang berada dalam ruangan yang dibatasi oleh tulisan-tulisan China dam mungkin tidak akan mampu membedakan antara kaligrafi China dengan skrip lainnya. Dari luar ruangan orang itu diberi satu set tulisan China lagi bersama dengan satu set aturan untuk membandingkan satu set tulisan yang pertama dan yang kedua. Aturan ditulis dalam bahasa Inggris sederhana dan hanya akan mengijinkan orang itu menghubungkan satu set simbol dengan satu set simbol lainnya. Dengan aturan penghubungan yang sudah ada, orang yang berada di Ruang China mampu memberikan jawaban berarti atas pertanyaan tentang isi tulisan tersebut, meskipun orang itu tidak peduli dengan bahasanya.Setelah beberapa saat, orang itu menjadi cukup terlatih untuk menjawab pertanyaan dalam Bahasa Inggris (bahasa asli orang tersebut) dan dalam bahasa China (bahasa yang tidak diketahui oleh orang itu, tapi mampu digunakan untuk merespon berdasarkan aturan yang diberikan). Hasilnya sangat memuaskan “betul-betul sulit dibedakan dengan mereka yang memang berbahasa China”. Orang dalam ruang China tersebut adalah produk instan sederhana sebuah program komputer: data masuk-data keluar. Searle menanggapi argumentasi ini selangkah lebih jauh. Dengan mampu berfungsi baik dalam menerjemah aturan rumit, bukan berarti sesuatu yang mampu menampilkan fungsi tersebut paham dengan maksud dari apa yang dia hasilkan. Pikiran manusia memiliki tujuan tertentu yang menggambarkan sebagai “bagian dari sikap mental dan kejadian tertentu dimana pikiran diarahkan pada objek dan beberapa permasalahan di dunia”. Sikap mental ini mencakup kepercayaan, ketakutan, hasrat, dan tujuan. Tidak peduli betapa sulitnya membedakan pikiran manusia yang palsu dengan yang sesungguhnya, keduanya tidaklah sama karena tujuan dari manusia yang berpikir tersebut, dan karena perbedaan fisik para pemikir tersebut. Salah satu dihasilkan secara alami, sementara yang lainnya secara elektronik.

Daftar Pustaka
Solso, R. L., Maclin, O. H., & Maclin, M. K. (2008). Psikologi Kognitif. Jakarta: Erlangga


Tidak ada komentar:

Posting Komentar