1. Model Pertukaran Sosial dan Analisis Transaksional
Pada umumnya,hubungan
sosial terdiri daripada masyarakat, maka kita dan masyarakat lain di lihat
mempunyai perilaku yang saling memengaruhi dalam hubungan tersebut,yang
terdapat unsur ganjaran , pengorbanan dan keuntungan . Ganjaran merupakan
segala hal yang diperolehi melalui adanya pengorbanan,manakala pengorbanan
merupakan semua hal yang dihindarkan, dan keuntungan adalah ganjaran dikurangi
oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit
antara dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya, pola-pola
perilaku di tempat kerja, percintaan, perkawinan,dan persahabatan.
Analogi dari hal
tersebut, pada suatu ketika anda merasa bahwa setiap teman anda yang di satu
kelas selalu berusaha memperoleh sesuatu dari anda. Pada saat tersebut anda
selalu memberikan apa yang teman anda butuhkan dari anda, akan tetapi hal
sebaliknya justru terjadi ketika anda membutuhkan sesuatu dari teman anda.
Setiap individu menjalin pertemanan tentunya mempunyai tujuan untuk saling
memperhatikan satu sama lain. Individu tersebut pasti diharapkan untuk berbuat
sesuatu bagi sesamanya, saling membantu jikalau dibutuhkan, dan saling
memberikan dukungan dikala sedih. Akan tetapi mempertahankan hubungan
persahabatan itu juga membutuhkan biaya (cost) tertentu, seperti hilang waktu
dan energi serta kegiatan-kegiatan lainnya yang tidak jadi dilaksanakan.
Meskipun biaya-biaya ini tidak dilihat sebagai sesuatu hal yang mahal atau
membebani ketika dipandang dari sudut penghargaan (reward) yang didapatkan dari
persahabatan tersebut. namun, biaya tersebut harus dipertimbangkan apabila kita
menganalisis secara obyektif hubungan-hubungan transaksi yang ada dalam
persahabatan. Apabila biaya yang dikeluarkan terlihat tidak sesuai dengan
imbalannya, yang terjadi justru perasaan tidak enak di pihak yang merasa bahwa
imbalan yang diterima itu terlalu rendah dibandingkan dengan biaya atau
pengorbanan yang sudah diberikan.
Analisa mengenai
hubungan sosial yang terjadi menurut cost and reward ini merupakan salah satu
ciri khas teori pertukaran. Teori pertukaran ini memusatkan perhatiannya pada
tingkat analisis mikro, khususnya pada tingkat kenyataan sosial antarpribadi
(interpersonal). Pada pembahasan ini akan ditekankan pada pemikiran teori
pertukaran oleh Homans dan Blau. Homans dalam analisisnya berpegang pada
keharusan menggunakan prinsip-prinsip psikologi individu untuk menjelaskan
perilaku sosial daripada hanya sekedar menggambarkannya. Akan tetapi Blau di
lain pihak berusaha beranjak dari tingkat pertukaran antarpribadi di tingkat
mikro, ke tingkat yang lebih makro yaitu struktur sosial. Ia berusaha untuk
menunjukkan bagaimana struktur sosial yang lebih besar itu muncul dari
proses-proses pertukaran dasar.
Berbeda dengan analisis
yang diungkapkan oleh teori interaksi simbolik, teori pertukaran ini terutama
melihat perilaku nyata, bukan proses-proses yang bersifat subyektif semata. Hal
ini juga dianut oleh Homans dan Blau yang tidak memusatkan perhatiannya pada
tingkat kesadaran subyektif atau hubungan-hubungan timbal balik yang bersifat
dinamis antara tingkat subyektif dan interaksi nyata seperti yang diterjadi
pada interaksionisme simbolik. Homans lebih jauh berpendapat bahwa penjelasan
ilmiah harus dipusatkan pada perilaku nyata yang dapat diamati dan diukur
secara empirik.[1] Proses pertukaran sosial ini juga telah diungkapkan oleh
para ahli sosial klasik. Seperti yang diungkapkan dalam teori ekonomi klasik
abad ke-18 dan 19, para ahli ekonomi seperti Adam Smith sudah menganalisis
pasar ekonomi sebagai hasil dari kumpulan yang menyeluruh dari sejumlah
transaksi ekonomi individual yang tidak dapat dilihat besarnya. Ia
mengasumsikan bahwa transaksi-transaksi pertukuran akan terjadi hanya apabila
kedua pihak dapat memperoleh keuntungan dari pertukaran tersebut, dan
kesejahteraan masyarakat pada umumnya dapat dengan baik sekali dijamin apabila individu-individu
dibiarkan untuk mengejar kepentingan pribadinya melalui pertukaran-pertukaran
yang dinegosiasikan secara pribadi.
Analisis Transaksional
(AT) adalah salah satu pendekatan Psychotherapy yang menekankan pada hubungan
interaksional. AT dapat dipergunakan untuk terapi individual, tetapi terutama
untuk pendekatan kelompok. Pendekatan ini menekankan pada aspek perjanjian dan
keputusan. Melalui perjanjian ini tujuan dan arah proses terapi dikembangkan
sendiri oleh klien, juga dalam proses terapi ini menekankan pentingnya
keputusan-keputusan yang diambil oleh klien. Maka proses terapi mengutamakan
kemampuan klien untuk membuat keputusan sendiri, dan keputusan baru, guna
kemajuan hidupnya sendiri.
AT dikembangkan oleh
Eric Berne tahun 1960 yang ditulisnya dalam buku Games People Play. Berne
adalah seorang ahli ilmu jiwa terkenal dari kelompok Humanisme. Pendekatan
analisis transaksional ini berlandaskan teori kepribadian yang berkenaan dengan
analisis struktural dan transaksional. Teori ini menyajikan suatu kerangka bagi
analisis terhadap tiga kedudukan ego yang terpisah, yaitu : orang tua, orang
dewasa, dan anak. Pada dasarnya teori analisis transaksional berasumsi bahwa
orang-orang bisa belajar mempercayai dirinya sendiri, berpikir, dan memutusakan
untuk dirinya sendiri, dan mengungkapkan perasaan- perasaannya.
Dalam mengembangkan
pendekatan ini Eric Berne menggunakan berbagai bentuk permainan antara orang
tua, orang dewasa dan anak.
Dalam eksprerimen yang
dilakukan Berne mencoba meneliti dan menjelaskan bagaimana status ego anak,
orang dewasa dan orang tua, dalam interaksi satu sama lain, serta bagaimana
gejala hubungan interpersonal ini muncul dalam berbagai bidang kehidupan
seperti misalnya dalam keluarga, dalam pekerjaan, dalam sekolah, dan
sebagainya.
Dari eksperimen ini
Berne mengamati bahwa kehidupan sehari-hari banyak ditentukan oleh bagaimana
ketiga status ego (anak, dewasa, dan orang tua) saling berinteraksi dan
hubungan traksaksional antara ketiga status ego itu dapat mendorong pertumbuhan
diri seseorang, tetapi juga dapat merupakan sumber-sumber gangguan psikologis.
Percobaan Eric Berne ini dilakukan hamper 15 tahun dan akhirnya dia merumuskan
hasil percobaannya itu dalam suatu teori yang disebut Analisis Transaksional
dalam Psikoterapi yang diterbitkan pada tahun 1961. Selanjutnya tahun 1964 dia
menulis pula tentang Games Pupil Play, dan tahun 1966 menerbitkan Principles of
Group Treatment. Pengikut Eric Berne adalah Thomas Harris, Mc Neel J. dan R.
Grinkers.
2. Pembentukkan Kesan dan Ketertarikan Interpersonal dalam Memulai Hubungan
- Pembentukan
Tahap ini sering
disebut juga dengan tahap perkenalan. Beberapa peneliti telah menemukan hal-hal
menarik dari proses perkenalan. Fase pertama, “fase kontak yang permulaan”,
ditandai oleh usaha kedua belah pihak untuk menangkap informasi dari reaksi
kawannya. Masing-masing pihak berusaha menggali secepatnya identitas, sikap dan
nilai pihak yang lain. bila mereka merasa ada kesamaan, mulailah dilakukan
proses mengungkapkan diri. Pada tahap ini informasi yang dicari meliputi data
demografis, usia, pekerjaan, tempat tinggal, keadaan keluarga dan sebagainya.
Menurut Charles R.
Berger informasi pada tahap perkenalan dapat dikelompokkan pada tujuh kategori,
yaitu: a) informasi demografis; b) sikap dan pendapat (tentang orang atau
objek); c) rencana yang akan datang; d) kepribadian; e) perilaku pada masa
lalu; f) orang lain; serta g) hobi dan minat.
- Peneguhan Hubungan
Hubungan interpersonal
tidaklah bersifat statis, tetapi selalu berubah. Untuk memelihara dan
memperteguh hubungan interpersonal, diperlukan tindakan-tindakan tertentu untuk
mengembalikan keseimbangan. Ada empat faktor penting dalam memelihara
keseimbangan ini, yaitu: a) keakraban; b)kontrol; c)respon yang tepat; dan d)
nada emosional yang tepat.
Keakraban merupakan
pemenuhan kebutuhan akan kasih sayang. Hubungan interpersonal akan terperlihara
apabila kedua belah pihak sepakat tentang tingkat keakraban yang diperlukan.
Faktor kedua adalah kesepakatan tentang siapa yang akan mengontrol siapa, dan
bilamana. Jika dua orang mempunyai pendapat yang berbeda sebelum mengambil
kesimpulan, siapakah yang harus berbicara lebih banyak, siapa yang menentukan,
dan siapakah yang dominan. Konflik terjadi umumnya bila masing-masing ingin
berkuasa, atau tidak ada pihak yang mau mengalah.
- Ketepatan respon.
Dimana, respon A harus
diikuti oleh respon yang sesuai dari B. Dalam percakapan misalnya, pertanyaan
harus disambut dengan jawaban, lelucon dengan tertawa, permintaan keterangan
dengan penjelasan. Respon ini bukan saja berkenaan dengan pesan- pesan verbal,
tetapi juga pesan-pesan nonverbal. Jika pembicaraan yang serius dijawab dengan
main-main, ungkapan wajah yang bersungguh-sungguh diterima dengan air muka yang
menunjukkan sikap tidak percaya, maka hubungan interpersonal mengalami
keretakan. Ini berarti kita sudah memberikan respon yang tidak tepat.
- Keserasian suasana emosional ketika komunikasi sedang berlangsung.
Walaupun mungkin saja
terjadi interaksi antara dua orang dengan suasana emosional yang berbeda,
tetapi interaksi itu tidak akan stabil. Besar kemungkinan salah satu pihak akan
mengakhiri interaksi atau mengubah suasana emosi.
3. Model Peran, Konflik dan Adequency Peran, serta Autentisitas dalam Hubungan Peran
- Model Peran
terdapat empat asumsi
yang mendasari pembelajaran bermain peran untuk mengembangkan perilaku dan
nilai-nilai social, yang kedudukannya sejajar dengan model-model mengajar
lainnya. Keempat asumsi tersebut sebagai berikut:
Secara implicit bermain
peran mendukung sustau situasi belajar berdasarkan pengalaman dengan
menitikberatkan isi pelajaran pada situasi ‘’di sini pada saat ini’’. Model ini
percaya bahwa sekelompok peserta didik dimungkinkan untuk menciptakan analogy
mengenai situasi kehidupan nyata. Tewrhadap analogy yang diwujudkan dalam
bermain peran, para peserta didik dapat menampilkan respons emosional sambil
belajar dari respons orang lain.
Kedua, bermain peran
memungkinkan para peserta didik untuk mengungkapkan perasaannya yang tidak
dapat dikenal tanpa bercermin pada orang lain. Mengungkapkan perasaan untuk
mengurangi beban emosional merupakan tujuan utama dari psikodrama (jenis
bermain peran yang lebih menekankan pada penyembuhan). Namun demikian, terdapat
perbedaan penekanan antara bermain peran dalam konteks pembelajaran dengan
psikodrama. Bermain peran dalam konteks pembelajaran memandang bahwa diskusi
setelah pemeranan dan pemeranan itu sendiri merupakan kegiatan utama dan
integral dari pembelajaran; sedangkan dalam psikodrama, pemeranan dan keterlibatan
emosional pengamat itulah yang paling utama. Perbedaan lainnya, dalam
psikodrama bobot emosional lebih ditonjolkan daripada bobot intelektual,
sedangkan pada bermain peran peran keduanya memegang peranan yang sangat
penting dalam pembelajaran.
Model bermain peran
berasumsi bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf sadar untuk kemudian
ditingkatkan melalui proses kelompok. Pemecahan tidak selalu datang dari orang
tertentu, tetapi bisa saja muncul dari reaksi pengamat terhadap masalah yang sedang
diperankan. Denagn demikian, para peserta didik dapat belajar dari pengalaman
orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat
dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Dengan demikian, para
peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara memecahkan
masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya
secara optimal. Oleh sebab itu, model mengajar ini berusaha mengurangi peran
guru yang teralu mendominasi pembelajaran dalam pendekatan tradisional. Model
bermain peran mendorong peserta didik untuk turut aktif dalam pemecahan masalah
sambil menyimak secara seksama bagaimana orang lain berbicara mengenai masalah
yang sedang dihadapi.
Model bermain peran
berasumsi bahwa proses psikologis yang tersembunyi, berupa sikap, nilai,
perasaan dan system keyakinan, dapat diangkat ke taraf sadar melalui kombinasi
pemeranan secara spontan. Dengan demikian, para pserta didik dapat menguji
sikap dan nilainya yang sesuai dengan orang lain, apakah sikap dan nilai yang
dimilikinya perlu dipertahankan atau diubah. Tanpa bantuan orang lain, para
peserta didik sulit untuk menilai sikap dan nilai yang dimilikinya.
Terdapat tiga hal yang
menentukan kualitas dan keefektifan bermain peran sebagai model pembelajaran,
yakni (1) kualitas pemeranan, (2) analisis dalam diskusi, (3) pandangan peserta
didik terhadap peran yang ditampilkan dibandingkan dengan situasi kehidupan
nyata.
- Konflik
Konflik adalah adanya
pertentangan yang timbul di dalam seseorang (masalah intern) maupun dengan
orang lain (masalah ekstern) yang ada di sekitarnya. Konflik dapat berupad
perselisihan (disagreement), adanya keteganyan (the presence of tension), atau
munculnya kesulitan-kesulitan lain di antara dua pihak atau lebih. Konflik
sering menimbulkan sikap oposisi antar kedua belah pihak, sampai kepada mana
pihak-pihak yang terlibat memandang satu sama lain sebagai pengahalang dan
pengganggu tercapainya kebutuhan dan tujuan masing-masing.
- Adequancy peran & autentisitas dalam hubungan peran
Kecukupan perilaku yang
diharapkan pada seseorang sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik
secara formal maupun secara informal. Peran didasarkan pada preskripsi (
ketentuan ) dan harapan peran yang menerangkan apa yang individu-individu harus
lakukan dalam suatu situasi tertentu agar dapat memenuhi harapan-harapan mereka
sendiri atau harapan orang lain menyangkut peran-peran tersebut.
4. Intimasi dan Hubungan Pribadi
Sullivan (Prager, 1995)
mendefinisikan intimasi sebagai bentuk tingkah laku penyesuaian seseorang untuk
mengekspresikan akan kebutuhannya terhadap orang lain. Intimasi juga adalah
salah satu atribut yang paling menonjol dalam suatu hubungan intim daripada hubungan
pribadi yang lain. Keintiman (intimacy) sangat berkaitan dengan derajat
kecintaan, kepercayaan, kepuasan, tanggung jawab dan pengertian pasangan dalam
hubungan yang dekat (intim).
5. Intimasi dan Pertumbuhan
Steinberg (1993)
berpendapat bahwa suatu hubungan intim adalah sebuah ikatan emosional antara
dua individu yang didasari oleh kesejahteraan satu sama lain, keinginan untuk
memperlihatkan pribadi masing-masing yang terkadang lebih bersifat sensitif
serta saling berbagi kegemaran dan aktivitas yang sama.
Faktor-faktor yang
menumbuhkan hubungan interpersonal yang baik adalah
- Berhubungan dengan orang lain tanpa menilai dan tanpa berusaha mengendalikan.
- Menumbuhkan sikap percaya pada diri orang lain atau Kejujuran
- Kejujuran yang menumbuhkan sikap percaya. Sikap yang mengurangi sikap defensive dalam komunikasi amat besar pengaruhnya dalam menumbuhkan komunikasi interpersonal yang efektif
Nama : Maria Rosa Prameswari
Kelas : 2PA10/14511293
Sumber :
Nasution, Noehi dkk. 1992. Psikologi
pendidikan. Jakarta: Depdikbud
Wargito, Bimo. 1989. Pengantar psikologi umum.
Yogyakarta: Andy Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar