Nama : Maria
Rosa Prameswari
Kelas/NPM :
4PA10/14511293
1.
Sejarah
Artificial Intelligence
Artificial
Intelligence diartikan secara luas sebgaia cabang dari ilmu komputer yang
berhubungan dengan pengembangan komputer (perangkat keras) dan program-program
komputer (perangkat lunak) yang mampu meniru fungsi kognisi manusia.
Mari
perhatikan tugas kognitif sederhana yaitu memecahkan proses matematika. Banyak
komputer mampu melakukan hal tersebut dengan cepat dan akurat, tetapi tidak mampu
menirukan kognitif manusia. Ketika kita mendiskusikan tentang AI, biasanya
berkaitan erat dengan Psikologi kognitif dan ilmu neurologi. Ide-ide dari
bidang yang satu, misalnya ilmu neurologi, dapat digabungkan dengan bidang
lainnya, misalnya AI dan mungkin juga nantinya ide-ide lain yang muncul dari
Psikologi Kognitif dapat diterapkan dalam kedua bidang lain tersebut. Ketiganya
(AI, Psikologi kognitif, dan ilmu neurologi) telah membentuk dasar dari ilmu
kognitif.
AI
dan Psikologi kognitif memiliki semacam hubungan simbiosis, masing-masing
bagian mendapat keuntungan dari peningkatan bagian lainnya. Peningkatan pada
cara-cara untuk meniru secara persis persepsi manusia, ingatan, bahasa, dan
pikiran, tergantung pada pengertian bahwa proses ini dicapai oleh manusia.
Perkembangan AI meningkatkan pentingnya memahami kognisi manusia.
Meskipun
pengembangan Artificial Intelligence didedikasikan untuk mengembangkan mesin
yang bertindak seakan pandai, kebanyakan dirancang tanpa bertujuan untuk meniru
proses kognitif manusia. Bagaimanapun juga, ada beberapa penelitian yang
memperhatikan perkembangan “kecerdasan” mesin yang meniru pemikiran manusia,
yang ersepsinya terkadang disebut simulasi komputer (CS).
Pada
masa awal teknologi komputer, para ilmuwan Artificial Intelligence (dan para
penulis fiksi ilmu pengetahuan) memiliki impian luar biasa tentang robot dan
mesin berpikir. Sebuah tulisan yang sangat berpengaruh ditulis pada awal tahun
1940an oleh seorang psikiater asal Chicag, W.S. McCulloch, serta mahasiswanya,
W. Pitts. Dalam tulisan tersebut, memperkenalkan sebuah konsep yang memiliki
pengaruh sangat besar bagi para ilmuwan komputer, termasuk Von Neumann dan juga
para PDP. Berdasarkan konsep bahwa pikiran adalah hasil kerja otak, terutama
bagian dasar otak atau simpul-simpul saraf, dianggap bahwa simpul-simpul saraf
tersebut dapat dipandang sebagai “peralatan logika” yang beberapa simpul serta
hubungannya dapat dipandang sebagai logika yang proporsional.
Dapatkah
sebuah komputer dirancang untuk belajar? Manusia dapat belajar karena memiliki
sinapsis yang dapat dimodifikasi. Kekuatan antara dua neuron akan meningkatkan
ketika mereka diaktifkan secara terus menerus. Kita harus ingat bahwa komputer
rakitan awal cukup jarang dan sangat mahal dan hanya dimiliki beberapa kaum
elit intelektual yang penasaran dengan kemampuannya. Selama tahap-tahap awal
pembentukan komputer, muncul beberapa pendapat fundamental mengenai manfaat dan
kegunaan alat tersebut. Terdapat anggapan bahwa jika komputer diprogram dengan
baik yaitu dengan diberi instruksi dan aturan yang benar, komputer akan mampu
menyelesaikan operasi apapun, termasuk meniru pikiran manusia dengan efektif.
Sejauh
ini kita telah gagal membuat mesin berpikir sesungguhnya, ataupun yang otaknya
mirip dengan otak manusia. Bagaimanapun juga para ilmuan masih terus menganggap
bahwa AI masih dalam tahap bayi. Setiap perspektif yang pernah disebutkan
memiliki masalahnya masing-masing. Kasus awalnya sebagian besar program AI
memiliki pemikiran yang kaku. Ketika saya bertanya berapakah akar kuadrat 7, Anda
mungkin akan menjawab “Yah, diatas 8, dibawah 9. Sekitar 8,5.” Komputer akan
menjawab 8,5440037... ketimbang melanjutkan rangkaian angka yang tak berujung,
otak manusia seperti dirancang dengan luar biasa untuk menyelesaikan sebuah
kekacauan melihat wajah yang familiar di tengah keramaian, meyetir di jalan Los
Angeles, memahami makna yang dalam dari sebuah drama Chekov, ataupun merasakan
lembutnya sutra yang membelai kulit kita. Sampai saat ini belum ada komputer
yang mampu melakukan hal itu. Sementara itu, tidak ada manusia yang mampu
menjawab pertanyaan akar kuadrat dalam hitungan milidetik, seperti yang
dilakukan sebuah kalkulator tangan murahan.
2.
Artificial
Intelligence dan Kognisi Manusia
Semua
orang yang merangkai model proses distribusi paralel seperti neuron, telah
bekerja keras untuk encoba menemukan solusi atas pertanyaan tentang otak
sebagai mesin berpikir, dan apakah komputer mampu meniru kemampuan otak serta
kognisi manusia.
Jawaban
pertanyaan tadi mulai muncul setelah melalui riset psikologi selama lebih dari satu abad, terutama melalui riset
psikologi kognitif beberapa abad yang lalu. Apa ang telah kita pelajari
mengenai mesin berpikir kita yang disebut otak, adalah bahwa mesin ini berbeda
secara fundamental dibandingkan dengan komputer Von Neumann yang sekarang biasa
digunakan, Mungkin Artificial Intelligence akan berperan lebih jauh jika
komputer lebih menyerupai otak. Untuk menjernihkan masalah ini, disini
ditampilkan rangkuman perbandingannya (pada tabel 1).
|
Komputer
Berbasis Silikon (jenis Von Neumann
|
Otak
Berbasis Karbon (Manusia)
|
Kecepatan
proses
|
Dalam
nanodetik
|
Dalam
milidetik sampai beberapa detik
|
Jenis
|
Rangkaian
prosesor (kebanyakan)
|
Prosesor
paralel (kebanyakan)
|
Kapasitas
penyimpanan
|
Sangat
besar, untuk informasi berkode digital
|
Sangat
besar, untuk informasi visual dan linguistik
|
Bahan-bahan
|
Silikon
dan elektronik
|
Neuron
dan organik
|
Kerjasama
|
Sangat
patuh
|
Cukup
kooperatif
|
Kemampuan
belajar
|
Sesuai
aturan yang ditetapkan
|
Konseptual
|
Fitur
unggulan
|
Mampu
memproses data yang sangat banyak dalam waktu yang singkat. Efisien dalam
biaya, sudah teratur, mudah dirawat, dan dapat ditebak
|
Mampu
membuat penilaian, kesimpulan, dan penyamarataan dengan mudah. Pergerakannya:
memiliki bahsa, percakapan, vision, dan emosi
|
Fitur
terburuk
|
Tidak
mampu belajar sendiri dengan cepat; memiliki kesulitan dengan tugas kognitif
manusia yang rumit, seperti pemahaman bahasa dan produksi
|
Memiliki
kapasitas penyimpanan dan pemrosesan informasi yang terbatas; pelupa, dan
cukup mahal dalam pemenuhan permintaan makanan, minuman, tidur, suhu udara
yang sesuai sebagai tambahan atas egala kebutuhan-kebutuhan bio-psikologis
lainnya (misal: cinta, kebutuhan untuk dimiliki, sex)
|
Tabel
1
Mereka
bekerja dengan jenis mesin yang salah. Sepertinya kita berada di ambang gebrakan
sebuah konsep atau mungkin pergantian paradigma dalam artificial intelligence,
dimana langkah pertama sudah diambil untuk membuat komputer lebih mirip otak
baik dalam struktur maupun prosesnya. Sistem jaringan neuron, model-model PDP,
dan hubungannya telah menggoda ilmuwan untuk menemukan pronsip komputerisasi
yang memerintah jaringan neuron pada sistem saraf manusia. Mereka melakukannya
dengan cara yang tampak abstrak. Unit mewakili neuron, tetapi mengikuti tingkah
laku neuron, yaitu bahwa unit bisa dipasangkan dengan unit yang lain. Hubungan
diantara mereka bisa menguat atau melemah, lalu stabil, dan seterusnya
(Churchland dalam Solso, 2008)
Sebuah
konsep penting juga telah diajukan mengenai jaringan neuron yang juga masih
dipelajari, yaitu melalui sistem seperti sinapsis (seperti infrastruktur otak)
yang menghubungkan unit-unit, yang dapat berubah seiring dengan pengalaman.
Beberapa
usaha telah berhasil. Cara pandang baru mengenai kognisi manusia telah
menimbulkan banyak antusiasme di antara para pendukungnya. Bahkan seorang
mahasswa yang kebetulan mempelajari tentang psikologi kognitif harus peka pada
kontribusi penting terhadap dunia psikologi ini dan berperan serta pada
perkembangannya di masa depan.
3.
Artificial
Intelligence dan Sistem pakar
Eliza,
salah satu program komputer pertama yang mampu berkomunikasi. Eliza ditulis
oleh Joseph Weizenbaum pada tahun 1996. Beberapa revisi Eliza telah dibuat dari
konsep aslinya. Pada satu program yang spesifik, bernama “Doctor”, Eliza
mengambil peran seperti seorang psikiater. Pada contoh berikut ini, peran Eliza
dicetak dalam huruf besar:
Semua pria sama
DALAM HAL APA
Mereka selalu menjadi
gangguan bagi kita dalam berbagai hal
BISAKAH KAMU MEMBERIKAN
CONTOH YANG LEBIH SPESIFIK
Yeah, pacarku membuatku
datang ke sini
PACARMU MEMBUATMU DATANG
KE SINI
Dia bilang aku depresi
sepanjang waktu
AKU TURUT BERSEDIH
MENDENGAR KAMU DEPRESI
Memang benar, aku tidak
bahagia
APAKAH KAMU PIKIR DATANG
KE SINI DAPAT MENOLONGMU MERASA BAHAGIA
Yang pasti aku butuh
pertolongan
Percakapan tersebut mungkin akan dianggap
seseorang sebagai percakapan yang timbul dalam wawancara antara seorang
psikiater dan pasiennya. Bagaimanapun juga, mari kita coba telaah transkip
tersebut lebih dalam. Respon dari komputer cenderung stereotipe, misalnya dia
diprogram untuk merespon beberapa kunci kalimat dengan respon yang hanyalah
merupakan transformasi dari kalimat aslinya. Seperti ketika “pasien” mengatakan
kata kunci “I’am”, Eliza merespon dengan gaya tutur seperti “Aku turut bersedih
mendengar kamu...” Jika tidak ada kata kunci yang ditemukan, komputer akan
menjawab dengan ciri-cirinya yang tanpa isi, atau pada beberapa kasus, berakhir
menjadi transformasi yang lebih awal. Kapasitas manusia dalam hal pengetahuan
perasaan, kecenderungan, dinamika kelompok, dan seterusnya, terbentuk menjadi
apa yang mau tidak mau kita sebut pengertian. Eliza kekurangan hal tersebut.
Parry,
percakapan seperti apakah yang mungkin dihasilkan jika perannya dibalik, yaitu
jika seorang psikiater berbicara pada pasien simulasi komputer. Colby, Hilf,
Webber, dan Kraemer (1972) mensimulasikan seorang pasien, dan menyebut pragram
ini Parry, karena ia mensimulaiskan seorang pasien paranoid. Mereka memilih
seorang paranoid sebagai subjek karena beberapa teori menyebut bahwa proses dan
sistem paranoia memang ada, perbedaan respon psikotis dan respon normalnya
cukup hebat, dan mereka dapat menggunakan penilaian dari seorang ahli untuk
mengecek keakuratan dari kemampuan pemisahan antara respon simulasi komputer dan
respon manusia. Colby dan para rekan-rekan penelitian mengarahkan komputer
tersebut untuk melakukan tes turing, dengan meminta sekelompok psikiater untuk
mewawancarai Parry menggunakan pesan yang disampaikan dalam bentuk ketikan.
Para juri (psikiater) diminta utnuk mengukur kadar paranoia dari keseluruhan
respon.
Interview
A
Dr. Apakah ada sesuatu tentang seseorang yang
bisa kau gambarkan?
Pt. Beberapa orang tertentu
Dr. Siapakah orang tertentu tersebut dan apa
yang mereka lakukan?
Pt. Tahukah Anda tentang aktivitas bawah tanah?
Dr. Apa maksud Anda?
Pt.
Hauskah saya jelaskan?
Dr. Mengapa Anda menanyakan tentang dunia
bawah tanah?
Pt. Apa yang Anda ketahui tentang dunia
bawah tanah?
Dr. Aku tidak tahu apa-apa tentang dunia
bawah tanah, tetapi ketika Anda menyebutkan tentang hal itu, saya pikir Anda
pasti pernah berhubungan dengan hal itu dan saya ingin tahu lebih banyak
tentang dunia bawah tanah itu.
Pt. Cobalah untuk menghindari dunia bawah
tanah
Hasilnya
mengindikasikan sulit dibedakannya model dan pasien dalam setting yang sangat
spesial. Tentu saja, akan masuk akal jika timbul perdebatan atas kondisi
penelitian yang dibuat-buat, bahwa diagnosa aktual seorang paranoia termasuk
wawancara langsung yang mestinya banyak dilakukan, sehingga apabila para juri
betul betul memahami maksud dari tugas tersebut, wawancara mereka mungkin akan
jadi berbeda. Meskipun Colby, dan rekan-rekannya berhasil memprogram komputer
yang mampu merespon serupa dengan respon seorang pasien paranoid, dimana
program ini juga lulus tes, tetapi program ini masih jauh dari konsep model
pemahaman lengkap dan produksi bahasa.
NETtalk
Program
ini jenisnya cukup berbeda, berdasarkan pada jaring-jaring neuron, sehingga
dinamakan NETtalk. Program ini dikembangkan oleh Sejnowski di sekolah medis
Harvard dan Rosenberg di Universitas Princeton. Dalam program ini, NETtalk
membaca tulisan dan mengucapkannya keras-keras. Model simulasi jaring neuron
terdiri dari beberapa ratus unit “neuron” dan ribuan koneksi. NETtalk dalam
“membaca keras-keras” dengan cara mengkonversi tulisan menjadi fenom-fenom,
unti dasar dari suara sebuah bahasa. Sistem ini, seperti sistem-sistem lain
yang sudah kita ketahui sebelumnya, memiliki tiga lapis: lapisan input, dimana
setiap unit merespon sebuah tulisan; lapisan output, dimana unit menampilkan
ke-55 fenom dalam bahasa Inggris; dan sebuah lapisan unti tersembunyi, dimana
setiap unit ditambahkan koneksinya pada setiap unit input maupun output.
NETtalk
membaca dengan memperhatikan setiap tulisan satu demi satu, dan dengan
menscaning tiga tulisan pada setiap sisi demi sebuah informasi yang
kontekstual. Disini lafal ‘e’ pada ‘net’, ‘neglect’, dan ‘red’ bisa ditangkap
dengan bunyi yang berbeda. Setiap NETtalk membaca sebuah kata, program ini
membandingkan pelafalannya dengan lafal yang benar yang disediakan manusia,
kemudian menyesuaikan kekuatannya untuk memperbaiki setiap kesalahan.
Setelah
melalui beberapa percobaan, NETtalk memberi perkembangan yang signifikan.
Sejnowski melaporkan:
Kami membiarkannya untuk bekerja sepanjang
malam. Pada awalnya program ini menghasilkan pembicaraan yang tidak jelas
secara terus menerus. Saat itu program hanya menebak; program ini belum belajar
menghubungkan fenom dan tulisan. Ketika program ini terus bekerja, program ini
mulai bisa mengenali huruf vokal dan konsonan. Kemudian program ini menemukan
adanya jarak antara kata-kata tersebut. Sekarang arus kata-kata tidak bermakna
tersebut terpecahkan menjadi letupan pendek, yang dipisahkan oleh beberapa
spasi. Pada akhir malam itu, NETtalk sudah membaca dengan cukup baik untuk
dipahami, melafalkan sekitar 92% huruf dengan benar.
Aplikasi yang lebih praktis atas sistem
ini cukup terlihat; apa yang mungkin tidak terlalu terlihat, tetapi dalam
operasi jangka panjang menjadi terasa lebih penting, sebagai sebuah konsep yang
menggebrak model sekarang yang terinspirasi oleh neuron.
Sejak Sejnowski dan yang lainnya menyadari
hal ini, konteksnya beralih pada besarnya kepentingan uraian atas manusia dan
mesin. Kita sekarang akan memperhatikan masalah pentig lainnya, masalah arti
dan AI. Kebanyakan masalah ini jelas-jelas sudah diabaikan. Jika Anda
memperhatikan sebuah transkrip tentang operator yang telah di komputerisasi
pada TIVO, operatornya sudah sangat sulit dibedakan dengan operator yang
“hidup”.
4.
Penggunaan
Artificial Intelligence sebagai expert system yang dapat digunakan untuk
mendukung sistem pengambilan keputusan (diagnosa). Bagaimana kita dapat
mengetahui dan memahami peran kontribusi Artificial Intelligence dalam
Psikologi
Ada
beberapa area dari Psikologi Kognitif yang sudah menjadi subjek argumentasi
yang lebih heboh ketimbang perdebatan tersebut adalah orang-orang yang fanatik
terhadap AI, yang percaya bahwa tidak hanya mesin mampu meniru kognisi manusia
secara persis, tetapi juga bahwa proses intelektual tingkat tinggi mampu
ditampilkan hanya oleh sebuah mesin. Tambahan yang logis atas pendapat ini
adalah bahwa komputer harus disertakan secara langsung dalam pengambilan
keputusan manusia setiap harinya.
Di
sisi lain terdapat orang-orang yang menganggap AI sebagai konsep intelektual
yang korup dan meyakini bahwa orang yang yakin atas keberadaan mesin berpikir
adalah pemuja yang materialistis. Pikiran manusia adalah murni proses manusia,
yang bahkan jika disintesis oleh mesin secara terpisah, tidak akan mampu
diduplikasi oleh program-program AI.
Sebagai
tiitk awal, sangatlah berguna untuk memperhatikan dikotomi yang diajukan oleh
John Searle (1980), seorang filsuf dari Universitas California di Barkeley. Dia
menggambarkan 2 jenis AI: AI lemah, yang dapat digunakan sebagai alat
investigasi kognisi manusia, dan AI kuat, dimana komputer yang telah diprogram
dengan baik memiliki ‘pikiran’ yang dapat memahami. AI lemah menimbulkan
beberapa kontroversi; hampir semua orang menyadari pentingnya komputer dalam
menyelidiki kognisi manusia. AI kuat yang disangkal Searle, telah menimbulkan
gelombang protes. Marilah kita perhatikan tes antar sebuah jiwa murni melawan
mesin yang diajukan oleh Alan Turning, seorang ahli matematika berkebangsaan
Inggris.
Tes
Turing
Turing
(1950) menyusun sebuah tes yang melibatkan komunikasi antar manusia yang
melontarkan pertanyaan dengan makhluk pengguna bahasa. Secara sederhana
dirumuskan bahwa tugas manusia tersebut adalah memutuskan apakah makhluk
tersebut manusia atau bukan. Tes Turing adalah sebuah penipuan terselubung yang
memberi para ahli AI suatu hal konkrit untuk dikerjakan, dan mengalihkan
perhatian mereka dari pikiran yang filosofis. Ketimbang menyebut sebuah
filosofi secara langsung (seperti yang mungkin akan Turing lakukan apabila ia
mempertimbangkan “Apakah kognisi adalah fungsi proses material, dan jika memang
begitu, mampukah fungsi tersebut muncul dari sebuah mesin yang tidak alami?”
atau “Apakah solusi dari masalah jiwa atau raga?”) Dia justru memilih cara yang
jauh lebih cerdas untuk menanggapi pertanyaan tersebut, yaitu dengan
membingkainya dengan operasionalisme. Karena adanya kebingungan yang masih
tertinggal dalam kepustakaan tentang kealamian dari tes Turing yang ditawarkan.
Ruang
China
Untuk
mengilustrasikan pandangan tentang AI kuat yang mulai tidak dapat
dipertahankan, Searle menawarkan tantangan berikut. Mari kita andaikan
seseorang berada dalam ruangan yang dibatasi oleh tulisan-tulisan China dam
mungkin tidak akan mampu membedakan antara kaligrafi China dengan skrip lainnya.
Dari luar ruangan orang itu diberi satu set tulisan China lagi bersama dengan
satu set aturan untuk membandingkan satu set tulisan yang pertama dan yang
kedua. Aturan ditulis dalam bahasa Inggris sederhana dan hanya akan mengijinkan
orang itu menghubungkan satu set simbol dengan satu set simbol lainnya. Dengan
aturan penghubungan yang sudah ada, orang yang berada di Ruang China mampu
memberikan jawaban berarti atas pertanyaan tentang isi tulisan tersebut,
meskipun orang itu tidak peduli dengan bahasanya.Setelah beberapa saat, orang
itu menjadi cukup terlatih untuk menjawab pertanyaan dalam Bahasa Inggris
(bahasa asli orang tersebut) dan dalam bahasa China (bahasa yang tidak
diketahui oleh orang itu, tapi mampu digunakan untuk merespon berdasarkan aturan
yang diberikan). Hasilnya sangat memuaskan “betul-betul sulit dibedakan dengan
mereka yang memang berbahasa China”. Orang dalam ruang China tersebut adalah
produk instan sederhana sebuah program komputer: data masuk-data keluar. Searle
menanggapi argumentasi ini selangkah lebih jauh. Dengan mampu berfungsi baik
dalam menerjemah aturan rumit, bukan berarti sesuatu yang mampu menampilkan
fungsi tersebut paham dengan maksud dari apa yang dia hasilkan. Pikiran manusia
memiliki tujuan tertentu yang menggambarkan sebagai “bagian dari sikap mental
dan kejadian tertentu dimana pikiran diarahkan pada objek dan beberapa
permasalahan di dunia”. Sikap mental ini mencakup kepercayaan, ketakutan,
hasrat, dan tujuan. Tidak peduli betapa sulitnya membedakan pikiran manusia yang
palsu dengan yang sesungguhnya, keduanya tidaklah sama karena tujuan dari
manusia yang berpikir tersebut, dan karena perbedaan fisik para pemikir
tersebut. Salah satu dihasilkan secara alami, sementara yang lainnya secara
elektronik.
Daftar
Pustaka
Solso, R. L., Maclin, O. H., & Maclin, M. K. (2008). Psikologi
Kognitif. Jakarta: Erlangga